Petani Organik di Ujung Tanduk: Akademisi dan NU Dorong Perlindungan Hukum untuk Pertanian Berkelanjutan

banner 120x600

PENAJATIM.COM – Di tengah geliat pertanian ramah lingkungan, nasib petani organik justru masih rapuh. Mereka menanam dengan idealisme, tapi berjalan di lahan hukum yang keropos. Tak sedikit yang tergelincir karena ketidaktahuan terhadap aturan. Dari situlah para akademisi dan aktivis Nahdlatul Ulama (NU) bersepakat untuk turun tangan.

Lewat program “Doktor Mengabdi”, Pusat Riset Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya (UB) menggandeng Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU (LPBHNU) serta Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LPPNU) Kota Malang. Mereka menggelar workshop bertajuk “Penguatan Legalitas dan Pendidikan Hukum Petani Organik untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan di Malang Raya”, yang berlangsung di Gedung PCNU Kota Malang.

Kegiatan ini bukan sekadar temu ilmiah, melainkan forum perlawanan terhadap ketimpangan yang dialami para petani organik.

Prof. Luchman Hakim, Ketua DRPM UB, membuka acara dengan nada apresiatif sekaligus reflektif. Ia menegaskan, keberadaan petani organik adalah nafas terakhir bumi yang terus dirusak oleh pola tanam serampangan.

“Kami berharap petani-petani ini dapat menjaga bumi kita,” ujarnya dengan tegas.

Sementara itu, Fajar Santosa dari LPBHNU mengingatkan sisi paling rentan dari profesi petani: ketidaktahuan hukum.

“Kenapa kenali hukum itu penting? Karena sudah ada kasus kriminalisasi terhadap petani. Mereka perlu melek hukum agar tak mudah dijerat, baik secara administrasi maupun pidana,” tegasnya.

Workshop ini menjadi puncak perjalanan panjang sejak FGD pada 17 Oktober 2025. Salah satu sorotan datang dari Yusuf Effendi, Pengawas Mutu Hasil Pertanian dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu. Ia membeberkan fakta ironis: banyak petani yang menanam dengan label “organik”, tapi masih memakai praktik konvensional. Dari bibit, alat, hingga kontaminasi lahan, semuanya bisa menyeret mereka ke persoalan hukum karena pelanggaran standar.

“Petani harus paham bahwa sterilitas lahan, benih, dan alat bukan sekadar teknis, tapi juga aspek hukum,” ujarnya dalam pemaparannya.

Dari sisi pelaku lapangan, Diyah Rahmawati Wicaksana Ningtyas, pendiri Abang Sayur Organik, berbagi pengalaman tentang beratnya transisi dari lahan konvensional ke sistem organik. Menurutnya, tanpa tata kelola produksi dan pemasaran yang terukur, pertanian organik akan sulit bersaing.

Ia menekankan bahwa keamanan pangan dan legalitas edar bukan hanya kebutuhan formalitas, melainkan kunci kepercayaan pasar. “Food safety dan sertifikasi adalah fondasi yang menentukan apakah produk kita akan diterima atau ditolak,” jelasnya.

Di sisi lain, Mochamad Syafrizal Basori, notaris sekaligus dosen Fakultas Hukum UB, memaparkan pentingnya petani memiliki badan hukum agar aktivitas mereka terlindungi dan bisa berkembang profesional. Ia menjelaskan mekanisme pendirian usaha, dari OSS, NPWP, hingga coretax, serta ragam bentuk badan usaha yang bisa dipilih sesuai kebutuhan kelompok tani.

“Legalitas itu bukan beban, tapi tameng dari risiko,” katanya menutup presentasi.

Masuk pada ranah bisnis dan kerja sama, Tazkiya Lidya Alamri dari PERSADA UB menjelaskan pentingnya dokumen kontrak dan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) sebagai langkah strategis dalam membangun jejaring dan kemitraan usaha.
Sedangkan Octadila Laily Anggraeni, akademisi FEB UB, mengajak petani untuk memahami dasar-dasar akuntansi. Ia menilai, kesalahan pencatatan keuangan kerap membuat petani kesulitan menilai kinerja usahanya.

Materi terakhir disampaikan oleh Eny Yulianti, Bendahara LPPNU Kota Malang sekaligus Kepala Halal Center UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Ia mengingatkan bahaya makanan instan dan pentingnya produk organik yang benar-benar aman dan bersertifikat.

“Baik produsen maupun konsumen harus peduli pada izin edar dan sertifikasi halal. Itu tanggung jawab moral kita bersama,” ujarnya.


Dari seluruh rangkaian diskusi, muncul satu benang merah: petani organik tak hanya butuh pupuk dan air, tapi juga perlindungan hukum.
Ketiadaan payung hukum yang kuat membuat mereka terombang-ambing, sementara petani konvensional justru lebih banyak menikmati subsidi dan dukungan negara.

PERSADA UB, LPBHNU, dan LPPNU sepakat memperjuangkan kesadaran hukum bagi petani organik sebagai bentuk keadilan sosial. Negara, kata mereka, tak boleh abai pada mereka yang justru berjuang menjaga pangan sehat bagi masyarakat.

Workshop ini pun ditutup dengan komitmen kolektif antara pemerintah, akademisi, dan pelaku pertanian untuk membangun ekosistem pertanian yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada kehidupan.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *